

Hari gini siapa sih yang nggak punya sneakers? Dari anak sekolah sampai eksekutif muda, sneakers udah jadi bagian dari keseharian. Tapi, sneakers di Indonesia bukan cuma soal kenyamanan. Ia juga punya cerita panjang yang seru, penuh dengan pengaruh budaya, musik, sampai tren global.
Nah, biar makin paham, yuk kita bedah sejarah sneakers di Indonesia dari masa ke masa.
Konsep sneakers pertama kali nyampe ke Hindia Belanda sekitar awal abad 20. Waktu itu, modelnya masih sederhana: sepatu kanvas dengan sol karet. Dipakai terutama buat olahraga kayak tenis atau badminton, bukan gaya sehari-hari.
Tahun 50–60an, sepatu olahraga mulai lebih dikenal. Sepatu lokal berbahan kanvas dengan desain simpel jadi favorit anak sekolah. Bisa dibilang, inilah “sneakers jadul” Indonesia.
Kalau kamu ngobrol dengan orang tua atau kakek-nenek, mungkin mereka akan cerita soal sepatu kanvas putih yang jadi andalan anak sekolah di tahun 50–60an. Waktu itu, sneakers masih sangat sederhana: sol karet, bahan kanvas, dan warna mayoritas putih. Bukan soal gaya, tapi lebih ke fungsi. Sepatu ini jadi standar di sekolah-sekolah Indonesia, terutama untuk pelajaran olahraga.
Nah, meski terlihat sederhana, dari sinilah perjalanan sneakers di Indonesia dimulai. Sepatu kanvas putih yang gampang kotor itu justru menjadi simbol masa kecil generasi awal. Bisa dibilang, sneakers mulai dikenalkan secara luas ke masyarakat Indonesia lewat jalur pendidikan.
Masuk tahun 70an, sneakers mulai naik kelas. Era ini ditandai dengan masuknya merek internasional seperti Adidas, Puma, dan Converse melalui toko olahraga di kota besar. Sneakers masih erat dengan olahraga, terutama sepak bola dan basket.
Selain merk diatas, pada era ini merk Bata (meskipun brand global, produksinya banyak di Indonesia) bikin sneakers makin populer. Di era ini, sneakers mulai dipakai bukan cuma buat olahraga, tapi juga buat nongkrong.
Era 90an jadi titik balik. Sepatu olahraga dari Nike, Adidas, dan Reebok masuk lewat TV dan majalah. Anak sekolah mulai ngefans sama sepatu basket—terutama setelah fenomena Michael Jordan dan NBA booming.
Selain olahraga, musik juga jadi faktor penting. Hip-hop dan grunge mulai merambah anak muda Indonesia, bikin sneakers kayak Converse Chuck Taylor dan Vans jadi simbol perlawanan anak muda.
Memasuki tahun 2000an, sneakers makin identik dengan budaya musik dan komunitas anak muda. Hip hop, skateboard, hingga band-band indie menjadikan sneakers sebagai bagian dari penampilan. Di Indonesia, era distro dan brand lokal streetwear lahir. Nama-nama seperti Clandestine, 347, atau Ouval Research jadi favorit anak muda, dan sneakers melengkapi gaya mereka.
Di era ini, sneakers juga mulai jadi penanda “gaul” atau tidaknya seseorang. Anak yang pakai Nike Air Force atau Adidas Superstar dianggap lebih keren. Sementara itu, brand lokal pun mulai bikin sneakers yang affordable tapi tetap stylish.
Masuk tahun 2010an, dunia sneakers diguncang oleh yang namanya “hype culture.” Internet dan media sosial bikin sneakers edisi terbatas (limited edition) jadi buruan. Kolaborasi Nike dengan artis, Adidas dengan Kanye West (Yeezy), atau Converse dengan band dan seniman bikin sneakers punya nilai lebih dari sekadar sepatu: status sosial.
Di Indonesia, tren ini ikut booming. Muncul komunitas sneakerhead yang rela antre panjang demi sepasang sneakers, bahkan ada budaya resell dengan harga berkali lipat. Sneakers sudah berubah wajah: bukan hanya gaya, tapi juga investasi dan simbol identitas anak muda digital.
Tapi, di balik hingar-bingar hype global itu, ada cerita lain yang nggak kalah menarik. Brand-brand lokal mulai bangkit dan bikin Indonesia punya kebanggaan baru
Sekitar akhir 2010an, di tengah ramainya hype sneakers internasional, brand lokal mulai mendapat sorotan. Salah satu yang paling fenomenal adalah Compass. Sepatu bergaya klasik ini awalnya hanya dipakai anak kampus dan skater, tapi setelah berkolaborasi dengan seniman lokal dan muncul di berbagai event, Compass jadi rebutan. Bahkan ada yang rela antre semalaman hanya untuk sepasang Compass edisi terbatas.
Selain Compass, ada juga Patrobas yang dikenal dengan siluet simpel dan harga terjangkau, serta Brodo yang awalnya fokus ke sepatu kulit lalu merambah sneakers. Keberhasilan brand-brand ini menunjukkan kalau sneakers lokal bisa bersaing bukan cuma dari desain, tapi juga dari nilai emosional: rasa bangga pakai produk dalam negeri.
Yang menarik, sneakers lokal tidak berhenti di soal fashion saja. Mereka mulai jadi simbol budaya Indonesia modern. Misalnya, Compass yang berkolaborasi dengan seniman visual, atau brand lain yang membawa motif khas Nusantara ke dalam desain. Sneakers bukan lagi sekadar tren impor, tapi sudah jadi medium ekspresi budaya lokal.
Fenomena ini bikin sneakers lokal semakin kuat posisinya, bahkan mulai dilirik di pasar internasional. Di festival-festival streetwear dunia, produk Indonesia mulai punya tempat. Dari jalanan Jakarta, Bandung, hingga Surabaya, sneakers lokal kini sudah menapaki panggung global.
Dari sekadar sepatu olahraga sekolah di era 50an, sampai jadi simbol budaya anak muda modern, sneakers sudah berjalan jauh di Indonesia.
Sejarah sneakers di Indonesia adalah cerita tentang perubahan gaya hidup, budaya, dan identitas. Dari sepatu kanvas putih yang sederhana, sneakers menjelma jadi simbol anak muda, bagian dari musik dan seni, hingga kebanggaan produk lokal yang mendunia.
Setiap generasi punya “sneakers moment”-nya sendiri. Mungkin kakek kita dengan sepatu kanvas putihnya, orang tua kita dengan Adidas atau Converse era 80an, dan kita sekarang dengan hype sneakers lokal maupun global. Yang jelas, sneakers bukan lagi cuma alas kaki, tapi bagian dari perjalanan hidup masyarakat Indonesia.
Tahun/Tanggal | Peristiwa Penting |
---|---|
1950an | Sneakers (sepatu kanvas putih) mulai dipakai luas di sekolah-sekolah Indonesia. |
1970an | Masuknya merek internasional seperti Adidas, Puma, dan Converse melalui toko olahraga. |
1980–1990an | Nike populer lewat basket (Michael Jordan), Adidas lewat sepak bola; brand lokal (Bata, Kasogi, Tomkins) ikut meramaikan pasar. |
2000an | Sneakers jadi identitas anak muda; distro dan streetwear lokal berkembang, dipengaruhi musik hip hop dan punk. |
2010an | Hype culture dan limited edition booming; komunitas sneakerhead dan resell culture muncul di Indonesia. |
2017–2019 | Brand lokal seperti Compass, Patrobas, dan Brodo naik daun; antrean panjang edisi terbatas jadi fenomena baru. |
2020an | Sneakers lokal makin kuat, berkolaborasi dengan seniman dan masuk ke panggung internasional. |
Sneakers sudah masuk sejak awal 1900-an melalui Belanda, terutama untuk kebutuhan olahraga tenis dan atletik. Namun, mulai populer di Indonesia sekitar tahun 1950–1960an ketika sepatu kanvas putih dipakai di sekolah-sekolah.
Sepatu kanvas putih dengan sol karet di era 50–60an adalah yang paling legendaris. Lalu di era 80–90an, merek internasional seperti Adidas, Converse, dan Nike mulai populer. Brand lokal seperti Bata, Kasogi, dan Tomkins juga punya tempat khusus di hati generasi itu.
Perubahan besar terjadi di era 70–90an. Sneakers mulai dipakai anak muda bukan hanya untuk olahraga, tapi juga nongkrong, sekolah, dan kegiatan sehari-hari. Dari sinilah sneakers naik kelas jadi bagian gaya hidup.
Sangat besar! Di awal 2000an, sneakers erat dengan komunitas hip hop, skateboard, dan band indie. Sneakers jadi simbol identitas diri anak muda, bahkan bisa menunjukkan komunitas mana mereka berada.
Hype culture adalah tren di mana sneakers edisi terbatas (limited edition) jadi buruan karena jumlahnya sedikit. Sneakers ini biasanya hasil kolaborasi dengan artis, musisi, atau desainer. Akibatnya, muncul fenomena resell, yaitu jual-beli sneakers dengan harga jauh lebih tinggi.
Sekitar tahun 2015 ke atas. Brand seperti Compass, Patrobas, Geoff Max, Brodo, dan NAH Project mulai mencuri perhatian dengan desain segar, kualitas bagus, dan identitas lokal yang kuat.
Selain kualitas yang makin bagus, sneakers lokal menawarkan kebanggaan tersendiri karena dibuat di Indonesia. Beberapa rilisan terbatas bahkan jadi incaran kolektor, seperti Compass edisi khusus yang cepat habis terjual.
Ya, terutama sneakers limited edition. Banyak orang yang membeli sneakers untuk dijual kembali (resell) dengan harga lebih tinggi. Namun, bagi sebagian besar orang, sneakers lebih ke soal gaya hidup dan identitas.
Dulu sneakers lebih sederhana dan fungsional, terutama untuk sekolah dan olahraga. Sekarang sneakers lebih beragam: ada yang untuk gaya, koleksi, bahkan investasi. Sneakers lokal pun makin mendapat tempat sejajar dengan merek internasional.
Ke depan, sneakers lokal diprediksi akan semakin kuat dengan desain inovatif, kolaborasi kreatif, dan dukungan komunitas. Sneakers tidak hanya jadi bagian gaya hidup, tapi juga simbol kebanggaan budaya Indonesia di kancah global.
TEKS
Rekomendasi Sepatu Lainnya